SIBUTA DAN SIBUNGKUK
Di suatu kampung
tinggallah dua orang pemuda sebaya. Mereka bersahabat akrab sekali. Kemana pun
mereka pergi selalu bersama. Boleh dikata tidak pernah terjadi pertengkaran di
antara mereka. Jika yang seorang sedang marah, yang seorang lagi berdiam diri
atau membujuk sehingga kemarahannya reda. Begitu juga jika ada kesulitan,
selalu mereka atasi bersama.
Pada dasarnya, mereka memang saling membutuhkan karena keadaan
tubuh mereka mengharuskan demikian. Pemuda yang satu bertubuh kekar, tetapi
buta matanya, pemuda yang lain dapat melihat, tetapi bungkuk tubuhnya. Oleh
karena itu, orang menyebut mereka si Buta dan si Bungkuk.
Si Buta sangat baik hatinya. Tidak sedikit pun ia curiga kepada
temannya, si Bungkuk. Ia percaya penuh kepada temannya itu, walaupun si Bungkuk
sering menipu dirinya. Kejadian itu selalu berulang setiap mereka menghadiri
selamatan. Si Buta selalu duduk berdampingan dengan si Bungkuk. Pada saat
makan, si Buta selalu mengeluh.
“Pemilik rumah ini kikir sekali!” bisiknya kepada si Bungkuk
agar jangan didengar orang lain. “Tak ada secuil pun ikan, kecuali sayur labu.”
Si Bungkuk hanya tersenyum karena keluhan temannya itu akibat
ulahnya. Secara diam-diam ia memotong daging ayam yang cukup besar di piring si
Buta dan ditukar dengan sayur labu. Akibatnya, piring gulai si Buta hanya
berisi sayur labu.
Si Bungkuk merasa bahagia bersahabat dengan si Buta. Setiap ada kesempatan, ia dapat memanfaatkan kebutaan mata temannya untuk kepentingan sendiri. Si Buta yang tidak mengetahui kelicikan si Bungkuk juga merasa senang bersahabat dengan temannya itu. Setiap saat si Bungkuk dapat menjadi matanya.
Pada suatu hari, si
Bungkuk mengajak si Buta pergi berburu rusa. Tidak jauh dari kampung mereka ada hutan lebat.
Bermacam-macam margasatwa hidup di sana
seperti burung, siamang, binatang melata, dan rusa.
Konon, pada waktu itu belum ada pemburu menggunakan senapan
untuk membunuh hewan buruan. Penduduk yang ingin mendapatkan rusa atau binatang
lain biasanya menggunakan jerat yang diseebut jipah (faring). Kadang mereka
berburu menggunakan anjing pelacak dan tombak. Cara ini akan dipakai si Bungkuk
dan si Buta untuk berburu.
“Kalau kita dapat
membunuh seekor rusa, hasilnya kita bagi dua sama rata,” ujar si Bungkuk.
Tentu saja si Buta sangat gembira mendengar hal itu. sibuta segera menuntun anjing pelacak yang tajam Indra penciumannya, sedangkan si Bungkuk siap dengan tombak di tangan kanannya. Mereka berdua mengikuti arah yang ditunjukkan anjing pelacak itu.
Tentu saja si Buta sangat gembira mendengar hal itu. sibuta segera menuntun anjing pelacak yang tajam Indra penciumannya, sedangkan si Bungkuk siap dengan tombak di tangan kanannya. Mereka berdua mengikuti arah yang ditunjukkan anjing pelacak itu.
Rupanya hari itu mereka bernasib baik. Seekor rusa jantan yang
cukup besar berhasil mereka tombak. Tanduknya bercabang-cabang indah dan layak
dijadikan hiasan dinding.
Si Bungkuk segera membagi rusa hasil buruan itu menjadi dua
bagian. Akan tetapi, dengan segala kelicikannya, si Buta hanya mendapat
tulang-tulang. Daging dan lemak rusa diambil si Bungkuk.
“Karena daging rusa sudah dibagi, kita masak sendiri sesuai
selera kita,” kata si Bungkuk.
Si Buta menurut saja karena pikirnya memang demikian seharusnya.
Padahal dengan cara itu, si Bungkuk bermaksud agar daging yang dimilikinya
jangan secuil pun dimakan si Buta.
Walaupun si Buta tidak dapat melihat, kemampuannya memasak gulai
tidak diragukan sedikit pun. Terbit air liur si Bungkuk mencium bau masakan si
Buta. Si Bungkuk tidak pandai memasak.
“Sedaap!” kata si
Bungkuk sambil memasukkan potongan daging yang besar ke dalam mulutnya.
“Nikmat!” kata si Buta sambil mengambil sepotong tulang yang besar dari piring dan menggigitnya. Si Buta bersungut-sungut karena yang digigit, ternyata tulang semua.
“Nikmat!” kata si Buta sambil mengambil sepotong tulang yang besar dari piring dan menggigitnya. Si Buta bersungut-sungut karena yang digigit, ternyata tulang semua.
“Sayang,” katanya,
“rusa begitu besar, tetapi tak punya daging! Besok kita berburu lagi, tetapi
rusa itu harus gemuk dan banyak dagingnya.”
Si Bungkuk tersenyum mendengar perkataan si Buta. Si Buta merasa sayang jika tulang-tulang rusa yang telah dimasaknya dengan susah payah tidak dimakan. Oleh karena itu, ia mencoba menggigit tulang itu lagi. Akan tetapi, tulang itu sangat keras sehingga tetap tidak tergigit.
Si Bungkuk tersenyum mendengar perkataan si Buta. Si Buta merasa sayang jika tulang-tulang rusa yang telah dimasaknya dengan susah payah tidak dimakan. Oleh karena itu, ia mencoba menggigit tulang itu lagi. Akan tetapi, tulang itu sangat keras sehingga tetap tidak tergigit.
Hal itu membuat si Buta semakin penasaran. la mengerahkan
segenap tenaga dan menggigit tulang itu sekuat-kuatnya hingga bola matanya
hendak keluar dari lubang mata.
Tuhan sudah menakdirkan rupanya. Keajaiban pun terjadi. Mata si
Buta tidak buta lagi.
“Aku bisa melihat!” teriaknya kegirangan. Si Buta menatap
sekelilingnya. Ketika ia melihat tulang-tulang rusa di piringnya dan di piring
si Bungkuk daging yang empuk, bukan main marahnya.
“Sekarang, terbukalah topeng kebusukanmu selama ini!” katanya.
Si Buta memungut tulang rusa paling besar, lalu si Bungkuk
dipukul dengan tulang itu. Jeritan si Bungkuk meminta ampun tidak dihiraukannya
sama sekali. Seluruh tubuh si Bungkuk babak belur. Seperti si Buta, keanehan
pun terjadi pada si Bungkuk. Ketika la bangkit, ternyata punggungnya menjadi
lurus seperti orang sehat. “Aku tidak bungkuk lagi! Aku tidak bungkuk lagi!”
teriak si Bungkuk.
Mereka berdua menari
sambil berpeluk-pelukan dan bermaaf-maafan.Persahabatan mereka pun semakin akrab.
No comments:
Post a Comment
Bagaimana Pendapat anda ?